BAB
I
PENDAHULUAN
I. 1
LATAR
BELAKANG MASALAH
Radikalisme
dituding sebagai akar dari tumbuhnya aksi terorisme, vandalisme dan anarkisme
di tengah masyarakat. Namun seiring dengan tampilnya sosok Osamah bin Laden
yang dituding sebagai otak dibalik peristiwa 11 September 2001 disusul dengan
merebaknya aksi bom di berbagai wilayah di tanah air, istilah radikalisme acapkali
diopinikan dan diidentikkan dengan ideologi Islam. Tentu pengidentifikasian itu
berlebihan dan mayoritas umat Islam jelas menolak opini tersebut. Apalagi,
opini itu cenderung ’menuduh’ bahwa Islam identik dengan radikalisme. Sebab
faktanya, fenomena radikalisme ataupun fundamentalisme sebenarnya tidak hanya
terjadi pada masyarakat Islam, namun seluruh agama yang ada berpotensi
menghadapi persoalan radikalisme. Latar belakang utamanyanya berangkat dari
sikap fanatik berlebihan tanpa dibarengi pemahaman yang memadai terhadap
keberagamaan dan mendorong munculnya sikap keberagamaan radikal.
Selain itu, selain dari aspek keagamaan, juga
bisa dari segi Pendidikan. Mengedepankan sisi kemanusiaan serta memposisikan
mahasiswa sebagai subjek (bukan objek) dari setiap proses pendidikan untuk menuju
sebuah perubahan. Pendidikan harus dimaknai sebagai sebuah nilai yang menolak
kekerasan, penindasan dan segala bentuk radikalisme. Menumbuhkan kesadaran bagi
subjek didik untuk senantiasa kritis terhadap segala bentuk penyimpangan,
penyelewengan dan penindasan yang terjadi di sekelilingnya (berpijak pada
realitas kehidupan).
Ketiga,
menyadari bahwa pendidikan adalah suatu proses partisipasi di dalam kelompok,
tujuannya antara lain ialah untuk memperoleh pengertian dan keputusan yang
baik.
I. 2
TUJUAN
1. Memberikan
pemahaman mengenai Radikalisme yang berlaku di Indonesia.
2. Memberikan
pemahaman mengenai Realitas Kebangsaan
3. Menjelaskan
tentang hubungan Radikalisme dikaitkan dengan Realitas Kebangsaan.
DAFTAR
ISI
1. JUDUL 1
2. PENDAHULUAN 2
3. TUJUAN 2
4. DAFTAR ISI 3
5. PEMBAHASAN
a.
ISU
RADIKALISME 4
b.
REALITAS
KEBANGSAAN 5
6. PENUTUP 10
BAB
II
PEMBAHASAN
I.
ISU
TENTANG RADIKALISME DI HUBUNGKAN DENGAN REALITAS KEBANGSAAN
A.
ISU
RADIKALISME
Radikalisme
sesungguhnya banyak menjangkiti berbagai agama dan aliran-aliran sosial,
politik, budaya, dan ekonomi di dunia ini.
1.
PENGERTIAN RADIKALISME
I. Radikalisme Negativ
a.
Secara
semantik
Radikalisme ialah paham atau aliran
yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara
kekerasan atau drastis (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, cet. th.
1995, Balai Pustaka).
b.
Dalam
Ensiklopedi Indonesia (Ikhtiar Baru – Van Hoeve, cet. 1984)
Diterangkan bahwa “radikalisme”
adalah semua aliran politik, yang para pengikutnya menghendaki konsekuensi yang
ekstrim, setidak-tidaknya konsekuensi yang paling jauh dari pengejawantahan
ideologi yang mereka anut.
Dalam dua definisi ini “radikalisme”
adalah upaya perubahan dengan cara kekerasan, drastis dan ekstrim. Dan
Radikalisme seperti ini bisa dipandang sebagai Radikalisme Negativ.
Adapun perubahan yang cepat dan
menyeluruh (revolusi), selalu diikuti oleh kekacauan politik dan anarkhi,
sehingga menghancurkan infra struktur sosial – politik bangsa dan negara yang
mengalami revolusi tersebut. Dalam makna ini, radikalisme adalah sebagai
pemahaman yang negatif dan bahkan dapat pula dikatagorikan sebagai bahaya laten
ekstrim kiri ataupun kanan.
Radikalisme merupakan
pemahaman yang juga banyak menjangkiti berbagai agama dan aliran-aliran sosial,
politik, budaya, dan ekonomi di dunia ini.
II. Radikalisme positiv
a.
Dalam Kamus Ilmiyah Populer karya Pius A Partanto dan
M. Dahlan Al-Barry (penerbit Arkola Surabaya, cet. th. 1994)
Diterangkan bahwa “radikalisme”
ialah faham politik kenegaraan yang menghendaki adanya perubahan dan perombakan
besar sebagai jalan untuk mencapai taraf kemajuan.
Dalam definisi terakhir ini
“radikalisme” cenderung bermakna perubahan positif.
Keinginan adanya perubahan sosial –
politik masih dianggap wajar dan positif bila disalurkan melalui jalur
perubahan yang benar dan tidak mengandung resiko instabilitas politik dan
keamanan. Dalam makna ini, radikalisme adalah wacana sosial – politik yang
positif
Oleh karena itu, pandangan positif
dan negatifnya terhadap radikalisme tentunya terletak pada cara merealisasikan
dan mengekspresikannya serta dasar pandang para pengamatnya. Biasanya kaum
establishment amat alergi dengan isu radikalisme, berhubung kaum radikal amat
gigih menuntut adanya perubahan sosial politik yang berarti pula akan sangat
tajam mengoreksi kalangan statusquo.
Keinginan adanya
perubahan sosial – politik masih dianggap wajar dan positif bila disalurkan
melalui jalur perubahan yang benar dan tidak mengandung resiko instabilitas
politik dan keamanan.
Dalam makna ini,
radikalisme adalah wacana sosial – politik yang positif. Adapun perubahan yang
cepat dan menyeluruh (revolusi), selalu diikuti oleh kekacauan politik dan
anarkhi, sehingga menghancurkan infra struktur sosial – politik bangsa dan
negara yang mengalami revolusi tersebut. Dalam makna ini, radikalisme adalah
sebagai pemahaman yang negatif dan bahkan dapat pula dikatagorikan sebagai
bahaya laten ekstrim kiri ataupun kanan.
Akhirnya, berbagai gerakan radikal ekstrim yang belakangan mewujud dalam beraneka label entah itu NII, Gerakan Jihad, Jamaah Islamiyah dan lain sebagainya akan sangat laku dijual di kalangan Ummat Islam yang mempunyai semangat agama tetapi jauh dari ilmu agama dan gerakan tersebut akan dapat dieliminir dengan bangkitnya semangat belajar ilmu agama.
Akhirnya, berbagai gerakan radikal ekstrim yang belakangan mewujud dalam beraneka label entah itu NII, Gerakan Jihad, Jamaah Islamiyah dan lain sebagainya akan sangat laku dijual di kalangan Ummat Islam yang mempunyai semangat agama tetapi jauh dari ilmu agama dan gerakan tersebut akan dapat dieliminir dengan bangkitnya semangat belajar ilmu agama.
B.
REALITAS
KEBANGSAAN
Merupakan kenyataan apa yang terjadi
saat ini di kebangsaan kita Indonesia.
Realitas Kebangsaan sangat erat kaitannya dengan
Kehidupan kita bermasyarakat sehari-hari, peran kita terhadap bangsa indonesia,
yaitu dengan cara memiliki semangat Perjuangan untuk membangun Bangsa Indonesia
kedalam hal yang lebih baik. Seperti tokoh Pahlawan yang sudah merebut
kemerdekaan bangsa Indonesia untuk kita.
Banyak
hal yang perlu kita lakukan untuk memiliki semangat perjuangan, seperti yang
para pahlawan telah lakukan demi Kemerdekaan Bangsa Indonesia, misalnya seperti
apa yang telah tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 tentang tujuan Bangsa
Indoseia, yaitu turut serta dalam mencerdaskan seluruh anak Indonesia.
Berarti yang dapat kita lakukan adalah dengan cara
melakukan peningkatan pendidikan di negara kita ini. Karena pendidikan sangat
penting demi tercapainya masyarakat yang adil dan makmur.
Tetapi kenyataannya saat
ini berbeda, meskipun kesadaran perlunya mencerdaskan anak bangsa telah ada,
yakni sejak disahkannya anggaran pendidikan minimal sebesar 20 persen dari
total anggaran pemerintah pusat dan daerah di UUD 1945 pada tanggal 8 Juni 2003
dan di Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas). Namun, hingga saat ini yang terealisasi hanya baru rata-rata
sekitar 11 persen dari anggaran, dan masih belum sesuai dengan apa yang
diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. Secara gamblang, pasal 31 UUD
1945 menyebutkan, bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan
sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN, serta dari APBD untuk memenuhi
kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Demikian pula pasal 49 ayat 1 UU
No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, telah secara eksplisit menyebutkan bahwa
dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan,
dialokasikan minimal 20 persen dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20
persen dari APBD. Artinya, anggaran 20 persen memang harus benar-benar murni
diluar gaji guru dan biaya pendidikan kedinasan. Kenyataan diatas, merupakan
suatu bukti, betapa pemerintah belum mampu secara nyata melaksanakan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku, sekalipun itu merupakan amanat undang-undangan
dasar.
Disisi lain,
seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah, dimana kepala daerah yang dipilih
melalui pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung oleh masyarakat, telah
diberikan kewenangan dalam menjalankan otonomi seluas-luasnya sesuai pasal 18,
18 A dan 18 B UUD 1945. Namun, ternyata
tidak cukup mampu memenuhi harapan masyarakat dalam upaya percepatan
pembangunan. Ketimpangan dan kesenjangan sosial masih terjadi dimana-mana.
Pemerataan pembangunan antara Jawa dan luar Jawa, masih jauh dari harapan.
Bahkan, pilkada secara langsung yang diharapkan mampu menjawab berbagai
ketimpangan guna perbaikan, ternyata malah banyak menimbulkan
persoalan-persoalan baru.
Berikut
adalah permasalahan-permasalahan yang dialamai oleh Masyarakat Indonesia saat
ini :
1.
Rapuhnya rasa kebangsaan sebagai akibat tarik menarik
kekuasaan antara pusat dan daerah terkait pembagian kewenangan dalam otonomi
daerah. Tarik menarik ini, disebabkan oleh masih banyaknya peraturan
perundang-undangan sektoral yang belum disesuaikan dengan UU No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah. Dimana undang-undang sektoral tersebut, ketika
diterbitkan oleh berbagai departemen, masih menganut sistem sentralistik. Dari
pada itu, dengan keberadaan dana dekonsentrasi yang disalurkan ke masing-masing
dinas oleh pusat melalui masing-masing departemen, diyakini sebagai salah satu
bentuk upaya intervensi pusat terhadap jalannya pemerintahan daerah. Bahkan, adanya dana dekonsentrasi ini, ternyata disinyalir merupakan ajang percaloan
bagi daerah dan pusat. Dengan alasan prosedural, daerah akan mengeluarkan dana
talangan untuk pendampingan bagi proyek-proyek infrastruktur yang berasal dari
dana dekonsentrasi tersebut. Akibatnya, aparat pemerintahan daerah sering
melakukan upaya lobi-lobi ke pusat, dan diyakini sekitar 40 persen dana
tersebut raib guna lobi-lobi dimaksud.
2.
Sebagai sebab akibat dari amanat pasal 18 UUD 1945
yang diturunkan ke UU No. 32 Tahun 2004, atas keberadaan legislatif yang masuk
ke wilayah eksekutif, dengan sistem Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida),
ternyata semakin memperburuk jalannya sistem pengawasan pemerintahan di daerah.
Sistem ini juga, telah memasukkan jajaran yudikatif di daerah sebagai bagian
dari Muspida, dimana kepala daerah sebagai koordinator Muspida, ternyata
berdampak pada memperlemah sistem pengawasan, khususnya pengawasan terhadap
penyimpangan dan penyalahgunaan anggaran. Berbagai penyimpangan dan
penyalahgunaan anggaran daerah tersebut, sangat tidak mungkin atau sangat
riskan dapat diusut secara tuntas oleh aparat penegak hukum, yang secara nyata
juga berharap mendapat alokasi dana setiap tahunnya dari anggaran daerah.
3.
Minimnya kesadaran para kepala daerah terpilih (hasil
Pilkada) terkait upaya memaksimalkan muatan pelayanan umum (public services)
dalam menjalankan roda pemerintahan di daerah. Bahkan, sebahagian besar para
kepala daerah terpilih, ternyata tidak mampu menghilangkan muatan politis dalam
menjalankan roda pemerintahannya. Kenyataan tersebut, semakin diperparah dengan
upaya kepala daerah terpilih, untuk merealisasikan janji-janji politik jangka
pendek kepada para tim sukses (timses) yang telah berhasil mendudukkannya
sebagai orang nomor satu di daerah. Hasilnya, sering kali, para pembantu kepala
daerah terpilih seperti di jajaran dinas-dinas, merupakan orang-orang titipan
dari para timses, yang tidak memiliki kompetensi dan jauh dari profesionalitas
dalam bekerja. Bahkan, dalam pengambilan kebijakan di instansinya sekalipun,
para kepala dinas sering diintervensi oleh para timses kepala daerah terpilih.
Ironisnya lagi, para profesional di bidang pembangunan infrastruktur di daerah
yang semestinya dapat berkarya pada proyek-proyek pembangunan, ternyata tidak
dapat bertahan lagi di daerah. Pasalnya, sebahagian besar proyek-proyek
pembangunan tersebut, telah jatuh ke tangan para timses sebagai bagian dari
pemenuhan janji-janji politik yang sama. Alhasil, saat ini tidak perlu heran
lagi bila melihat para pimpinan lembaga-lembaga swadaya kemasyarakatan tertentu
di daerah, telah berekspansi usaha menjadi rekanan (kontraktor) penyedia barang
dan jasa bagi pemerintah daerah. Sedangkan, mereka yang profesional dan
memiliki kemampuan, akhirnya hanya duduk sebagai penonton yang baik atau dengan
terpaksa menjadi pengawas lapangan (mandor) dan sub-kontraktor bagi jalannya
proyek-proyek daerah.
4.
Demikian pula dengan keberadaan Dewan Perwakilan
Daerah (DPD) yang hanya memiliki kewenangan untuk memberikan pertimbangan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pasal 22D ayat 1 UUD 1945 menyebutkan,
DPD dapat mengajukan rencana undang-undang (RUU) tertentu kepada DPR (ayat 1),
yaitu RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya
alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan
keuangan pusat dan daerah. Selanjutnya, pada pasal 22D ayat 2 UUD 1945
disebutkan, DPD ikut membahas RUU tersebut, serta memberikan pertimbangan kepada
DPR atas RUU APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.
Dalam hal pengawasan sesuai pasal 22D ayat 3 UUD 1945, DPD dapat melakukan
pengawasan atas pelaksanaan UU tertentu, serta menyampaikan hasil pengawasannya
itu kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti. Dengan kata
lain, DPD hanya memberikan pertimbangan, sedangkan yang memutuskan adalah DPR,
sehingga DPD ini lebih tepat disebut sebagai Dewan Pertimbangan DPR. Sementara,
pada era otonomi daerah dewasa ini, peran DPD
diharapkan mampu bersinergi menyuarakan berbagai kepentingan daerah di tingkat
pusat. Keberadaan DPD dalam UUD 1945 hasil amandemen ketiga dan keempat, tidak
lepas dari desakan yang begitu kuat dari bebagai kalangan masyarakat, agar
terciptanya suatu sistem ketatanegaraan yang saling mengawasi secara seimbang
(check and balances) diantara sesama lembaga tinggi negara. Munculnya desakan
tersebut, juga tidak terlepas dari pengalaman pahit masa lalu bangsa yang
cenderung memiliki sistem pemerintahan yang koruptif dan otoriter dalam
beberapa dekade terakhir. Harapan yang muncul ini, juga tidak lain adalah guna
semakin memperbesar sistem keterwakilan masyarakat, khususnya masyarakat daerah
dalam pengambilan keputusan di tingkat pusat. Disisi lain, mekanisme
pengisian jabatan keanggotaan DPD, jauh lebih berat bila dibandingkan dengan
mekanisme pengisian keanggotaan DPR. Menurut pasal 22C ayat 1 UUD 1945, anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui pemilu, dan anggota DPD
dari tiap provinsi jumlahnya sama serta seluruh anggota DPD, yang tidak lebih
dari sepertiga jumlah anggota DPR (ayat 2).
Jika ditentukan bahwa dari setiap provinsi jumlahnya 4 orang, maka
seseorang yang ingin menduduki kursi DPD harus bersaing di tingkat provinsi
untuk memperebutkan 4 kursi. Disamping itu, peserta pemilu menjadi anggota DPD
adalah perorangan, sedangkan peserta pemilu untuk DPR adalah partai politik
berdasarkan daerah pemilihan (dapil) dengan proporsi kursi yang diperebutkan
disesuaikan jumlah penduduk. Artinya, tokoh perorangan yang ingin menjadi
anggota DPD menghadapi kesulitan luar biasa dalam menggalang dukungan bagi
dirinya, sedangkan calon anggota DPR cukup memanfaatkan struktur partai
politiknya sebagai mesin penghimpun dukungan suara dalam pemilihan umum. Dengan
kata lain, sudah sulit-sulit untuk mejadi anggota DPD, setelah berhasil,
kewenangannya sangat terbatas. Lebih ironis lagi, kewenangan yang terbatas sesuai
UUD 1945 itu, semakin direduksi pada UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan
Kedudukan (Susduk) MPR, DPR, DPD dan DPRD, khususnya dalam sistem pembahasan
RUU. Pada pasal 43 ayat 1 UU No. 22 Tahun 2003 disebutkan, DPD ikut membahas RUU yang diajukan baik oleh DPR maupun oleh pemerintah.
Namun, ayat 2
disebutkan, DPD diundang oleh DPR untuk
melakukan pembahasan RUU, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersama dengan
pemerintah pada awal Pembicaraan Tingkat I, yang disesuaikan berdasarkan
Peraturan Tata Tertib (Tatip) DPR. Demikian pula pada ayat 3
disebutkan bahwa, pembicaraan Tingkat I
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan bersama antara DPR, DPD, dan
pemerintah dalam hal penyampaian pandangan dan pendapat DPD atas RUU, serta
tanggapan atas pandangan dan pendapat dari masing-masing lembaga. Dengan
demikian, sebagai lembaga negara yang kedudukan anggotanya dipilih secara
langsung oleh rakyat, DPD sama sekali tidak memiliki kewenangan dalam
memperjuangkan aspirasi secara tuntas, karena kewenangan dalam pengambilan
keputusan terhadap suatu UU, hanya ada ditangan DPR dan pemerintah.
Dengan melihat sedemikian peliknya permasalahan bangsa ini, maka sudah
selayaknya semua pihak mencoba melakukan kajian guna memperoleh jalan
pemecahannya, seiring peringatan Hari Kebangkitan Nasional. Namun, secara garis
besar, perbaikan yang semestinya segera dilakukan adalah :
a)
Melakukan penyempurnaan (amandemen) terhadap UUD 1945
yang telah mengalami empat kali yaitu pasal yang berkaitan dengan DPD,
b)
Melakukan penyempurnaan (revisi) terhadap UU No. 32
Tahun 2004 tentang Pemda, dan
c)
Melakukan penyempurnaan terhadap seluruh UU Sektoral
yang disesuaikan oleh UUD 1945 hasil amandemen dan UU No. 32 Tahun 2004 hasil
revisi.
BAB III
PENUTUP
I.
KESIMPULAN
Dari
penjelasan dalam makalah ini secara satu persatu tentang Isu Radikalisme dan
Realitas Kebangsaan, dapat disimpulkan keterkaitan antara kedua-duanya.
Yaitu
Radikalisme adalah sebuah keinginan untuk berubah, hanya saja berbeda caranya,
ada yang menggunakan Radikalisme secara Positiv maupun Negativ, dan apabila
kita lihat keadaan negara kita saat ini, banyak pemimpin kita, maupun diri kita
sendiri menginginkan perubahan untuk bangsa tetapi banyak yang menggunakan
dengan cara negatif. Karena mementingkan kebutuhan pribadi,tanpa perduli
terhadap orang lain, sehingga akan dapat merugikan orang lain. Tidak sedikit juga
dari mereka yang menggunakan cara kekerasan, demi untuk tercapainya apa yang diinginkan.
Dan apabila
kita mengharapkan perubahan bangsa kita kedalam hal yang lebih baik. Sudah
sepantasnya, mulai dari saat ini, kita merubah pola berfikir kita, untuk kepentingan
bersama, demi kesejahteraan umum, dan juga untuk mencerdaskan bangsa, tanpa
harus merugikan orang lain.
Inilah
realita yang Bangsa Indonesia alami, karena Radikalisme yang berdampak negativ,
dengan cara kekerasan dan ekstrim.
Demikian
Makalah ini kami buat, semoga berguna untuk Kehidupan Berbangsa kita saat ini
dan kedepannya.
Wynn casino opens in Las Vegas - FilmfileEurope
BalasHapusWynn's first hotel casino in Las Vegas sol.edu.kg since opening https://septcasino.com/review/merit-casino/ its doors in 1996, Wynn Las Vegas is https://septcasino.com/review/merit-casino/ the first hotel on filmfileeurope.com the Strip to offer such a large selection of