Senin, 05 November 2012

ISU TENTANG RADIKALISME DIKAITKAN DENGAN REALITAS KEBANGSAAN

BAB I
PENDAHULUAN

I. 1             LATAR BELAKANG MASALAH
            Radikalisme dituding sebagai akar dari tumbuhnya aksi terorisme, vandalisme dan anarkisme di tengah masyarakat. Namun seiring dengan tampilnya sosok Osamah bin Laden yang dituding sebagai otak dibalik peristiwa 11 September 2001 disusul dengan merebaknya aksi bom di berbagai wilayah di tanah air, istilah radikalisme acapkali diopinikan dan diidentikkan dengan ideologi Islam. Tentu pengidentifikasian itu berlebihan dan mayoritas umat Islam jelas menolak opini tersebut. Apalagi, opini itu cenderung ’menuduh’ bahwa Islam identik dengan radikalisme. Sebab faktanya, fenomena radikalisme ataupun fundamentalisme sebenarnya tidak hanya terjadi pada masyarakat Islam, namun seluruh agama yang ada berpotensi menghadapi persoalan radikalisme. Latar belakang utamanyanya berangkat dari sikap fanatik berlebihan tanpa dibarengi pemahaman yang memadai terhadap keberagamaan dan mendorong munculnya sikap keberagamaan radikal.

 Selain itu, selain dari aspek keagamaan, juga bisa dari segi Pendidikan. Mengedepankan sisi kemanusiaan serta memposisikan mahasiswa sebagai subjek (bukan objek) dari setiap proses pendidikan untuk menuju sebuah perubahan. Pendidikan harus dimaknai sebagai sebuah nilai yang menolak kekerasan, penindasan dan segala bentuk radikalisme. Menumbuhkan kesadaran bagi subjek didik untuk senantiasa kritis terhadap segala bentuk penyimpangan, penyelewengan dan penindasan yang terjadi di sekelilingnya (berpijak pada realitas kehidupan).
Ketiga, menyadari bahwa pendidikan adalah suatu proses partisipasi di dalam kelompok, tujuannya antara lain ialah untuk memperoleh pengertian dan keputusan yang baik.

I. 2             TUJUAN

1.      Memberikan pemahaman mengenai Radikalisme yang berlaku di Indonesia.
2.      Memberikan pemahaman mengenai Realitas Kebangsaan
3.      Menjelaskan tentang hubungan Radikalisme dikaitkan dengan Realitas Kebangsaan.






DAFTAR ISI

1.      JUDUL                                                                                                                      1
2.      PENDAHULUAN                                                                                                    2
3.      TUJUAN                                                                                                                   2
4.      DAFTAR ISI                                                                                                             3
5.      PEMBAHASAN
a.      ISU RADIKALISME                                                                                         4
b.      REALITAS KEBANGSAAN                                                                           5
6.      PENUTUP                                                                                                                 10


















BAB II
PEMBAHASAN

I.         ISU TENTANG RADIKALISME DI HUBUNGKAN DENGAN REALITAS KEBANGSAAN

A.    ISU RADIKALISME
Radikalisme sesungguhnya banyak menjangkiti berbagai agama dan aliran-aliran sosial, politik, budaya, dan ekonomi di dunia ini.
1.      PENGERTIAN RADIKALISME
I.     Radikalisme Negativ
a.        Secara semantik
Radikalisme ialah paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, cet. th. 1995, Balai Pustaka).
b.        Dalam Ensiklopedi Indonesia (Ikhtiar Baru – Van Hoeve, cet. 1984)
Diterangkan bahwa “radikalisme” adalah semua aliran politik, yang para pengikutnya menghendaki konsekuensi yang ekstrim, setidak-tidaknya konsekuensi yang paling jauh dari pengejawantahan ideologi yang mereka anut.
Dalam dua definisi ini “radikalisme” adalah upaya perubahan dengan cara kekerasan, drastis dan ekstrim. Dan Radikalisme seperti ini bisa dipandang sebagai Radikalisme Negativ.
Adapun perubahan yang cepat dan menyeluruh (revolusi), selalu diikuti oleh kekacauan politik dan anarkhi, sehingga menghancurkan infra struktur sosial – politik bangsa dan negara yang mengalami revolusi tersebut. Dalam makna ini, radikalisme adalah sebagai pemahaman yang negatif dan bahkan dapat pula dikatagorikan sebagai bahaya laten ekstrim kiri ataupun kanan.
Radikalisme merupakan pemahaman yang juga banyak menjangkiti berbagai agama dan aliran-aliran sosial, politik, budaya, dan ekonomi di dunia ini.


II.  Radikalisme positiv
a.         Dalam Kamus Ilmiyah Populer karya Pius A Partanto dan M. Dahlan Al-Barry (penerbit Arkola Surabaya, cet. th. 1994)
Diterangkan bahwa “radikalisme” ialah faham politik kenegaraan yang menghendaki adanya perubahan dan perombakan besar sebagai jalan untuk mencapai taraf kemajuan.
Dalam definisi terakhir ini “radikalisme” cenderung bermakna perubahan positif.
Keinginan adanya perubahan sosial – politik masih dianggap wajar dan positif bila disalurkan melalui jalur perubahan yang benar dan tidak mengandung resiko instabilitas politik dan keamanan. Dalam makna ini, radikalisme adalah wacana sosial – politik yang positif
Oleh karena itu, pandangan positif dan negatifnya terhadap radikalisme tentunya terletak pada cara merealisasikan dan mengekspresikannya serta dasar pandang para pengamatnya. Biasanya kaum establishment amat alergi dengan isu radikalisme, berhubung kaum radikal amat gigih menuntut adanya perubahan sosial politik yang berarti pula akan sangat tajam mengoreksi kalangan statusquo.
Keinginan adanya perubahan sosial – politik masih dianggap wajar dan positif bila disalurkan melalui jalur perubahan yang benar dan tidak mengandung resiko instabilitas politik dan keamanan.
Dalam makna ini, radikalisme adalah wacana sosial – politik yang positif. Adapun perubahan yang cepat dan menyeluruh (revolusi), selalu diikuti oleh kekacauan politik dan anarkhi, sehingga menghancurkan infra struktur sosial – politik bangsa dan negara yang mengalami revolusi tersebut. Dalam makna ini, radikalisme adalah sebagai pemahaman yang negatif dan bahkan dapat pula dikatagorikan sebagai bahaya laten ekstrim kiri ataupun kanan.
Akhirnya, berbagai gerakan radikal ekstrim yang belakangan mewujud dalam beraneka label entah itu NII, Gerakan Jihad, Jamaah Islamiyah dan lain sebagainya akan sangat laku dijual di kalangan Ummat Islam yang mempunyai semangat agama tetapi jauh dari ilmu agama dan gerakan tersebut akan dapat dieliminir dengan bangkitnya semangat belajar ilmu agama.

B.     REALITAS KEBANGSAAN

Merupakan kenyataan apa yang terjadi saat ini di kebangsaan kita Indonesia.
Realitas Kebangsaan sangat erat kaitannya dengan Kehidupan kita bermasyarakat sehari-hari, peran kita terhadap bangsa indonesia, yaitu dengan cara memiliki semangat Perjuangan untuk membangun Bangsa Indonesia kedalam hal yang lebih baik. Seperti tokoh Pahlawan yang sudah merebut kemerdekaan bangsa Indonesia untuk kita.
                        Banyak hal yang perlu kita lakukan untuk memiliki semangat perjuangan, seperti yang para pahlawan telah lakukan demi Kemerdekaan Bangsa Indonesia, misalnya seperti apa yang telah tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 tentang tujuan Bangsa Indoseia, yaitu turut serta dalam mencerdaskan seluruh anak Indonesia.
Berarti yang dapat kita lakukan adalah dengan cara melakukan peningkatan pendidikan di negara kita ini. Karena pendidikan sangat penting demi tercapainya masyarakat yang adil dan makmur.
                        Tetapi kenyataannya saat ini berbeda, meskipun kesadaran perlunya mencerdaskan anak bangsa telah ada, yakni sejak disahkannya anggaran pendidikan minimal sebesar 20 persen dari total anggaran pemerintah pusat dan daerah di UUD 1945 pada tanggal 8 Juni 2003 dan di Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Namun, hingga saat ini yang terealisasi hanya baru rata-rata sekitar 11 persen dari anggaran, dan masih belum sesuai dengan apa yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. Secara gamblang, pasal 31 UUD 1945 menyebutkan, bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN, serta dari APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Demikian pula pasal 49 ayat 1 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, telah secara eksplisit menyebutkan bahwa dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan, dialokasikan minimal 20 persen dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20 persen dari APBD. Artinya, anggaran 20 persen memang harus benar-benar murni diluar gaji guru dan biaya pendidikan kedinasan. Kenyataan diatas, merupakan suatu bukti, betapa pemerintah belum mampu secara nyata melaksanakan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, sekalipun itu merupakan amanat undang-undangan dasar.
Disisi lain, seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah, dimana kepala daerah yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung oleh masyarakat, telah diberikan kewenangan dalam menjalankan otonomi seluas-luasnya sesuai pasal 18, 18 A dan 18 B UUD 1945. Namun,  ternyata tidak cukup mampu memenuhi harapan masyarakat dalam upaya percepatan pembangunan. Ketimpangan dan kesenjangan sosial masih terjadi dimana-mana. Pemerataan pembangunan antara Jawa dan luar Jawa, masih jauh dari harapan. Bahkan, pilkada secara langsung yang diharapkan mampu menjawab berbagai ketimpangan guna perbaikan, ternyata malah banyak menimbulkan persoalan-persoalan baru.

Berikut adalah permasalahan-permasalahan yang dialamai oleh Masyarakat Indonesia saat ini :
1.                       Rapuhnya rasa kebangsaan sebagai akibat tarik menarik kekuasaan antara pusat dan daerah terkait pembagian kewenangan dalam otonomi daerah. Tarik menarik ini, disebabkan oleh masih banyaknya peraturan perundang-undangan sektoral yang belum disesuaikan dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dimana undang-undang sektoral tersebut, ketika diterbitkan oleh berbagai departemen, masih menganut sistem sentralistik. Dari pada itu, dengan keberadaan dana dekonsentrasi yang disalurkan ke masing-masing dinas oleh pusat melalui masing-masing departemen, diyakini sebagai salah satu bentuk upaya intervensi pusat terhadap jalannya pemerintahan daerah. Bahkan, adanya dana dekonsentrasi ini, ternyata disinyalir merupakan ajang percaloan bagi daerah dan pusat. Dengan alasan prosedural, daerah akan mengeluarkan dana talangan untuk pendampingan bagi proyek-proyek infrastruktur yang berasal dari dana dekonsentrasi tersebut. Akibatnya, aparat pemerintahan daerah sering melakukan upaya lobi-lobi ke pusat, dan diyakini sekitar 40 persen dana tersebut raib guna lobi-lobi dimaksud.
2.                       Sebagai sebab akibat dari amanat pasal 18 UUD 1945 yang diturunkan ke UU No. 32 Tahun 2004, atas keberadaan legislatif yang masuk ke wilayah eksekutif, dengan sistem Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida), ternyata semakin memperburuk jalannya sistem pengawasan pemerintahan di daerah. Sistem ini juga, telah memasukkan jajaran yudikatif di daerah sebagai bagian dari Muspida, dimana kepala daerah sebagai koordinator Muspida, ternyata berdampak pada memperlemah sistem pengawasan, khususnya pengawasan terhadap penyimpangan dan penyalahgunaan anggaran. Berbagai penyimpangan dan penyalahgunaan anggaran daerah tersebut, sangat tidak mungkin atau sangat riskan dapat diusut secara tuntas oleh aparat penegak hukum, yang secara nyata juga berharap mendapat alokasi dana setiap tahunnya dari anggaran daerah.
3.                       Minimnya kesadaran para kepala daerah terpilih (hasil Pilkada) terkait upaya memaksimalkan muatan pelayanan umum (public services) dalam menjalankan roda pemerintahan di daerah. Bahkan, sebahagian besar para kepala daerah terpilih, ternyata tidak mampu menghilangkan muatan politis dalam menjalankan roda pemerintahannya. Kenyataan tersebut, semakin diperparah dengan upaya kepala daerah terpilih, untuk merealisasikan janji-janji politik jangka pendek kepada para tim sukses (timses) yang telah berhasil mendudukkannya sebagai orang nomor satu di daerah. Hasilnya, sering kali, para pembantu kepala daerah terpilih seperti di jajaran dinas-dinas, merupakan orang-orang titipan dari para timses, yang tidak memiliki kompetensi dan jauh dari profesionalitas dalam bekerja. Bahkan, dalam pengambilan kebijakan di instansinya sekalipun, para kepala dinas sering diintervensi oleh para timses kepala daerah terpilih. Ironisnya lagi, para profesional di bidang pembangunan infrastruktur di daerah yang semestinya dapat berkarya pada proyek-proyek pembangunan, ternyata tidak dapat bertahan lagi di daerah. Pasalnya, sebahagian besar proyek-proyek pembangunan tersebut, telah jatuh ke tangan para timses sebagai bagian dari pemenuhan janji-janji politik yang sama. Alhasil, saat ini tidak perlu heran lagi bila melihat para pimpinan lembaga-lembaga swadaya kemasyarakatan tertentu di daerah, telah berekspansi usaha menjadi rekanan (kontraktor) penyedia barang dan jasa bagi pemerintah daerah. Sedangkan, mereka yang profesional dan memiliki kemampuan, akhirnya hanya duduk sebagai penonton yang baik atau dengan terpaksa menjadi pengawas lapangan (mandor) dan sub-kontraktor bagi jalannya proyek-proyek daerah.
4.                       Demikian pula dengan keberadaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang hanya memiliki kewenangan untuk memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pasal 22D ayat 1 UUD 1945 menyebutkan, DPD dapat mengajukan rencana undang-undang (RUU) tertentu kepada DPR (ayat 1), yaitu RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Selanjutnya, pada pasal 22D ayat 2 UUD 1945 disebutkan, DPD ikut membahas RUU tersebut, serta memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama. Dalam hal pengawasan sesuai pasal 22D ayat 3 UUD 1945, DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU tertentu, serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti. Dengan kata lain, DPD hanya memberikan pertimbangan, sedangkan yang memutuskan adalah DPR, sehingga DPD ini lebih tepat disebut sebagai Dewan Pertimbangan DPR. Sementara, pada era otonomi daerah dewasa ini, peran DPD diharapkan mampu bersinergi menyuarakan berbagai kepentingan daerah di tingkat pusat. Keberadaan DPD dalam UUD 1945 hasil amandemen ketiga dan keempat, tidak lepas dari desakan yang begitu kuat dari bebagai kalangan masyarakat, agar terciptanya suatu sistem ketatanegaraan yang saling mengawasi secara seimbang (check and balances) diantara sesama lembaga tinggi negara. Munculnya desakan tersebut, juga tidak terlepas dari pengalaman pahit masa lalu bangsa yang cenderung memiliki sistem pemerintahan yang koruptif dan otoriter dalam beberapa dekade terakhir. Harapan yang muncul ini, juga tidak lain adalah guna semakin memperbesar sistem keterwakilan masyarakat, khususnya masyarakat daerah dalam pengambilan keputusan di tingkat pusat. Disisi lain, mekanisme pengisian jabatan keanggotaan DPD, jauh lebih berat bila dibandingkan dengan mekanisme pengisian keanggotaan DPR. Menurut pasal 22C ayat 1 UUD 1945, anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui pemilu, dan anggota DPD dari tiap provinsi jumlahnya sama serta seluruh anggota DPD, yang tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR (ayat 2).  Jika ditentukan bahwa dari setiap provinsi jumlahnya 4 orang, maka seseorang yang ingin menduduki kursi DPD harus bersaing di tingkat provinsi untuk memperebutkan 4 kursi. Disamping itu, peserta pemilu menjadi anggota DPD adalah perorangan, sedangkan peserta pemilu untuk DPR adalah partai politik berdasarkan daerah pemilihan (dapil) dengan proporsi kursi yang diperebutkan disesuaikan jumlah penduduk. Artinya, tokoh perorangan yang ingin menjadi anggota DPD menghadapi kesulitan luar biasa dalam menggalang dukungan bagi dirinya, sedangkan calon anggota DPR cukup memanfaatkan struktur partai politiknya sebagai mesin penghimpun dukungan suara dalam pemilihan umum. Dengan kata lain, sudah sulit-sulit untuk mejadi anggota DPD, setelah berhasil, kewenangannya sangat terbatas. Lebih ironis lagi, kewenangan yang terbatas sesuai UUD 1945 itu, semakin direduksi pada UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan (Susduk) MPR, DPR, DPD dan DPRD, khususnya dalam sistem pembahasan RUU. Pada pasal 43 ayat 1 UU No. 22 Tahun 2003 disebutkan, DPD ikut membahas RUU yang diajukan baik oleh DPR maupun oleh pemerintah. Namun, ayat 2 disebutkan, DPD diundang oleh DPR untuk melakukan pembahasan RUU, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersama dengan pemerintah pada awal Pembicaraan Tingkat I, yang disesuaikan berdasarkan Peraturan Tata Tertib (Tatip) DPR. Demikian pula pada ayat 3 disebutkan bahwa, pembicaraan Tingkat I sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan bersama antara DPR, DPD, dan pemerintah dalam hal penyampaian pandangan dan pendapat DPD atas RUU, serta tanggapan atas pandangan dan pendapat dari masing-masing lembaga. Dengan demikian, sebagai lembaga negara yang kedudukan anggotanya dipilih secara langsung oleh rakyat, DPD sama sekali tidak memiliki kewenangan dalam memperjuangkan aspirasi secara tuntas, karena kewenangan dalam pengambilan keputusan terhadap suatu UU, hanya ada ditangan DPR dan pemerintah.

Dengan melihat sedemikian peliknya permasalahan bangsa ini, maka sudah selayaknya semua pihak mencoba melakukan kajian guna memperoleh jalan pemecahannya, seiring peringatan Hari Kebangkitan Nasional. Namun, secara garis besar, perbaikan yang semestinya segera dilakukan adalah :
a)        Melakukan penyempurnaan (amandemen) terhadap UUD 1945 yang telah mengalami empat kali yaitu pasal yang berkaitan dengan DPD,
b)        Melakukan penyempurnaan (revisi) terhadap UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemda, dan
c)        Melakukan penyempurnaan terhadap seluruh UU Sektoral yang disesuaikan oleh UUD 1945 hasil amandemen dan UU No. 32 Tahun 2004 hasil revisi.




















BAB III
PENUTUP

                   I.                        KESIMPULAN
Dari penjelasan dalam makalah ini secara satu persatu tentang Isu Radikalisme dan Realitas Kebangsaan, dapat disimpulkan keterkaitan antara kedua-duanya.
Yaitu Radikalisme adalah sebuah keinginan untuk berubah, hanya saja berbeda caranya, ada yang menggunakan Radikalisme secara Positiv maupun Negativ, dan apabila kita lihat keadaan negara kita saat ini, banyak pemimpin kita, maupun diri kita sendiri menginginkan perubahan untuk bangsa tetapi banyak yang menggunakan dengan cara negatif. Karena mementingkan kebutuhan pribadi,tanpa perduli terhadap orang lain, sehingga akan dapat merugikan orang lain. Tidak sedikit juga dari mereka yang menggunakan cara kekerasan, demi untuk tercapainya apa yang diinginkan.
Dan apabila kita mengharapkan perubahan bangsa kita kedalam hal yang lebih baik. Sudah sepantasnya, mulai dari saat ini, kita merubah pola berfikir kita, untuk kepentingan bersama, demi kesejahteraan umum, dan juga untuk mencerdaskan bangsa, tanpa harus merugikan orang lain.
Inilah realita yang Bangsa Indonesia alami, karena Radikalisme yang berdampak negativ, dengan cara kekerasan dan ekstrim.
Demikian Makalah ini kami buat, semoga berguna untuk Kehidupan Berbangsa kita saat ini dan kedepannya.


1 komentar:

  1. Wynn casino opens in Las Vegas - FilmfileEurope
    Wynn's first hotel casino in Las Vegas sol.edu.kg since opening https://septcasino.com/review/merit-casino/ its doors in 1996, Wynn Las Vegas is https://septcasino.com/review/merit-casino/ the first hotel on filmfileeurope.com the Strip to offer such a large selection of

    BalasHapus

Thanks To Visit Ninnok Cengil Page